Pidana korupsi
sebagai hukum pidana khusus artinya aturan – aturan hukum pidana yang
menyimpang dari hukum pidana umum. Hukum pidana khusus mengatur perbuatan
tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh
orang lain selain orang tertentu itu[1]. Korupsi
Sudah terlalu lama kasus korupsi ini menjadi polemik utama bagi negara
Indonesia, sampai saat ini belum nampak adanya keberhasilan para pemberantas
korupsi yakni KPK dan aparat penegak hukum lainnya yang dapat mengurangi angka
pertumbuhan koruptor ini. Malahan, koruptor sudah makin banyak bak pasir di
pantai. Indonesia sepertinya memberikan keluwesan dan memberikan arahan cara
menjadi koruptor yang handal untuk melakukan korupsi karena aparat penegak
hukum terlalu bertele – tele dalam menyikapi masalah ini. Dari dulu, hakim
dalam memberikan vonis kepada monster negara ini sangat ringan dan vonis
tersebut hanya sebagai gelitikan saja bagi mereka.
Faktanya, para
koruptor di masukkan kedalam penjara akan tetapi hotel prodeo mereka seperti rumah pribadi, memiliki beragam
fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan mereka;para koruptor di tahan di sel,
tetapi dapat hang out ke tempat yang sepertinya bukan penjara melainkan tempat
wisata; para koruptor di pidana tetapi di berikan remisi, grasi dan amnesti;
para koruptor di denda dan membayar uang pengganti tetapi jumlahnya tidak
sesuai dengan yang di ambil nya serta tidak membuat mereka menjadi semiskin -
miskinnya melainkan koruptor ibarat memberikan sepersen harga dari harta
miliknya. Dengan hal tersebut diatas tidak mungkin koruptor di Indonesia dapat
berkurang populasinya.
Apalagi sekarang
telah dibuat nya Rancangan UndangUndang (RUU) Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
pastinya akan melemahkan proses pemberantasan korupsi di Indonesia dimana delik
korupsi dimasukkan kedalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana bukan lagi menjadi
kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime).[2]Bukan
hanya itu dalam Rancangan Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang
masuk program legislasi DPR 2011 menambah penerangan bagi para koruptor karena
dalam sejumlah pasal tersebut telah dikurangi lamanya sanksi hukuman, menghapushukuman
minimal, bahkanmenghilangkanancamanhukuman
mati.[3]
Dapat
disimpulkan bahwa nantinya ancaman sanksi lebih ringan dari Undang – Undang ini
tidak dapat lagi menjadi payung penyelesaian kasus korupsi di Indonesia.
Memang, siapapun tidak akan mau membuat kuburannya sendiri. Telah banyak cara –
cara yang diperuntukkan dalam memberantas koruptor ini tetapi belum mencapai
hasil. Seharusnya efektivitas Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi
direlisasikan dan di dukung oleh aparatur nya.Faktor lainnya karena para aparat penegak hukum terlebih hakim dalam
memutuskan atau memberikan vonis kurang berani dalam menerapkan hukum yang telah
diatur yakni Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Dalam Undang – Undang tersebut terdapat penguraian hukuman yang
dapat di jatuhkan yakni hukuman mati padapelakukorupsidalamkeadaantertentu.[4]
Dalam Undang –
Undang tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam
ketentuannya adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
terhadap dana – dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi.
Mengeksekusi mati
koruptor sangat memberikan efek jera bagi koruptor lainnya, contohkan saja
negara China dan Latvia yang karena kebijakan nya ini membuat koruptor di
negara mereka drastis berkurang dan banyak menyelamatkan uang negara. Menghukum
mati koruptor itu sama halnya dengan menyelamatkan anak bangsa dalam
kemiskinan, kelaparan, dan hilangnya kemajuan penunjang pendidikan mereka.
Kasus Mantan Ketua
SKK MIGAS Rudi Ribandini memiliki gaji pokok Rp.230 juta per bulan ditambah Rp.80 juta
sebulan dari jabatannya disebuah bank. Yang ingin saya jelaskan disini bukan
karena masalah perekonomian atau dengan hal lain mereka melakukan korupsi tetapi
karena mereka rakus, dan tidak memiliki rasa empati kepada sesama. Tetapi banyak
juga yang memberikan alasan tidak mendukung
memberlakukan hukuman mati untuk koruptor yang dimana mereka mengatakan bahwa
terlanggarnya HAM koruptor itu sendiri dan melanggar konstitusi negara Indonesia
yang termaktub pasal 28 (I) ayat 1 UUD 1945 yakni hak untuk hidup oleh seluruh
warga negara.
Sungguh ironi koruptor
mempunyai senjata penangkis untuk penyelamatan dirinya dengan memanfaatkan
aturan – aturan tertulis (a priori). Seharusnya,
UUD 1945 dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pada pasal 4 yang dibuat untuk melindungi HAM setiap orang tetapi justru
menjadi alatlegitimasi untuk melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Dihadapkan
dengan persolan letak humanisme seseorang, kata manusiawi ada ketika sifat
humanisme seseorang itu dipakai. Nah, saya akan mencoba membuka pemikiran kita
disini, lebih manusiawi membumihanguskan para koruptor demi untuk menyelamatkan
ratusan juta rakyat bangsa ini yang direnggut hak nya dari koruptor baik itu
dalam mengecap pendidikan, sarana dan prasaran di bidang kesehatan, dan atas
kelangsungan hidupnya.
Disini, koruptor
demi keinginan keserakahannya sendiri menyampingi kepentingan – kepentingan
rakyat yang artinya telah melanggar hak – hak warga negara lain yang cakupannya
lebih banyak dari koruptor itu sendiri. Pembatasan kebebasan manusia
diperuntukkan semata – mata untuk melindungi hak – hak manusia itu sendiri
untuk mencegah terjadinya penggunaan hak – hak yang dapat melanggar hak orang
lain. Intinya bukan hanya hak (right)
yang dituntut tetapi juga melaksanakan kewajiban (duty) untuk menghargai hak orang lain.
Jadi, di Indonesia
perlu dijalankan hukuman mati untuk para koruptor sehingga tidak memberikan
ruang lagi untuk mereka bisa hidup dalam penderitaan orang lain. Dan itu akan
menjadi efektif apabila bukti dan berkas – berkas yang kuat menyatakan melakukan
tidak korupsi positif dilakukan. Sehingga para eksekutor tidak salah orang
ketika menghukum mati dan memiliki mentalitas serta moralitas dalam bertindak
Tindakan korupsi merupakan kejahatan dimana seharusnya pelakunya dikenai pemidanaan untuk menghukum perbuatannya sekaligus menimbulkan efekjera. Pemberiansanksi
yang hanya berupa pengembalian asset tanpa disertai dengan pemidanaan pada pelakunya tentu akan membuka celah baru dalam korupsi. Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi yang muncul kembali karena meski sudah banyak pejabat dihukum terkait kasus korupsi, sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera untuk korupsi. Korupsi,
khususnya suap,
bahkan kini dinilai sebagai budaya. Jika sekarang masih terjadi, itu dikarenakan kurang
keras nya hukuman yang di berikan untuk para koruptor. Kiranya
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi
direalisasikan agar memberikan impact
bagi koruptor di Indonesia khususnya hukuman mati. Sehingga memberikan efek
jera yang riil dan ketakutan bagi koruptor lainnya. Dan untuk para
aparatur penegak hukum diharapkan dapat terus mengingatkan dan menekan
pemerintah untuk secara serius melakukan upaya pemberantasan korupsi.[5]
[1]Mahrus Ali, Hukum Pidana
Korupsi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
2011, hlm. 1.
[2]Termuat dalam Rancangan
Undang – Undang (RUU) Kitab Undang – Undang Pidana (KUHP) dalam proses
legislasi DPR tahun 2014
[3]Termuat dalam Rancangan
Undang – Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam proses
legislasi DPR tahun 2011
[4]Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (2)
[5]H. Juni Sjafrien Jahja, Say No To KORUPSI, hlm. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar