Dalam buku Julius
Stone yang saya baca, beliau
menceritakan tentang posisi mesin dalam cara berhukum manusia. Dengan arti mesin
memiliki pola berpikir dan bekerja yang tidak sama persis sama dengan manusia ,
salah satu macamnya mesin yang mampu bekerja cepat dan melakukan penyelesaian
dalam jumlah banyak . Tetapi nyatanya di dalam berhukum pekerjaan tidak dapat
diselesaikan dengan cara – cara seperti itu. Kalau kita mengimplementasikan
cara berhukum seperti mesin maka kita membahas “Keadilan mesin” bukan “keadilan
manusia”.
Dalam pendapat Stone mengakhiri risalahnya dengan kata – kata “
serahkan urusan manusia kepada manusia dan kepada mesin urusan mesin”. Memang dalam diri kita tidak
lepas dengan cara beraktifitas seperti yang dilakukan oleh mesin. Uraian dari
Danah Zohar dan Ian Marshall, CARA BERPIKIR MANUSIA YANG PALING SEDERHANA
MEMANG MIRIP DENGAN MESIN, yang biasa disimbolkan dengan I Q (intellectual
quotient) yaitu suatu ukuran pikiran kita. Semua ingin diukur dengan standar IQ. IQ merupakan
simplistic model of thinking, yaitu berpikir secara lurus , logis tanpa
melibatkan emosi , lalu Muncul EQ (emotional quotient), yaitu berpikir dengan
hati dan badan (asosiatif), dan kemudian SQ (spiritual quotient), yang
dinobatkan yang paling sempurna . SQ disebut unitive thinking yang melahirkan
kecerdasan spiritual, kecerdasan yang bermakana, dan tranformative . Atau
dengan kata lain SQ adalah berfikir kreatif , penuh wawasan (insightful) dan
intuitif . Inilah cara berhukum yang dijumpai di negeri
kita, “peraturan dan logika (iQ)”, Cara berhukum adalah manakala kita berani
untuk lepas dari belenggu perundang – undangan dan menemukan hal – hal baru
yang progresif . Cara berhukum yang
legalistik, positif - analitis disebut
rule making, Cara berhukum yang pemikiran kreatif dan intuitif disebut rule
breaking. Cara berpikir atau berhukum juga didasarkan pada skema – skema yang
sudah dipatok secara pasti sebelumnya.
Cara berhukum lalu
mengikuti standar dan formula yang telah disiapkan . Kemudian fakta, proses,
sengketa dimasuk – masukkan kedalam skema – skema tersebut, seperti sistem
produksi yang menggunakan prinsip ban berjalan , begitulah berhukum di Indonesia
saat ini, sesuai dengan apa yang di tuliskan (hokum positif) bukan dengan
menggali nilai – nilai yang ada di lingkungan masyarakat kita. Faktor dan peran
manusia dalam hukum sama sekali tidak dapat diabaikan. Dalam Kasus
Lindenbaum-Cohen, lahirnya kemerdekaan indonesia, turunnya presiden Soeharto.
Yaitu contoh urusan hukum yang
diserahkan kepada manusia dan bukan di serahkan kepada mesin. Biarlah mesin mengurusi
pekerjaannya sendiri (Stone). Turunnya presiden Soeharto dikarenakan adamnya
aksi demo oleh para mahasiswa barulah para MPR mengolah aturan untuk turunnya
Soeharto. Hukum tidak bisa hanya
menghitung dan mengeja pasal – pasal undang – undang, melainkan juga dengan
modal empati dan keberanian dan itu belum tentu di lakukan oleh mesin .
contoh panglima hukum yang berjalan dengan hukum progresif adalah Hakim Agung
terkenal di U.S.A Oliver Wendell Holmes, Ketua Mahkamah Agung U.S.A (1801 – 1838) John Marshall yang saat itu di
negaranya, konstitusi dianggap tidak penting dan hanya sesuatu yang
dikesampingkan dalam hukum di U.S.A.
Tidak hanya di negeri seberang, di Negara kita
diantara nya Hakim Agung Bismar Siregar yang
memperjuangkan hak para kaum hawa dalam kejahatan si lelaki untuk
mempertahankan harga diri dan kehormatan wanita. dan Hakim Agung Kusumah
Atmadja di Indonesia, dll . jadi dalam berhukum tidak lah harus sesuai dengan
ketentuan yang ada (tertulis), tetapi juga melihat dan menimbang dengan hati
nurani, menelaah lebih lanjut hukum yang tertanam di masyarakat (adat/nilai)
dan juga hukum merupakan telah memberi warna terhadap hukum dengan menegaskan
bahwa hukum itu bukan hanya urusan peraturan dan logika, tetapi juga manusia
yang menjalankan hukum itu dengan sekalian karakteristiknya. My Argument :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar