Kamis, 21 Februari 2013

Cara Berhukum Di Indonesia


Dalam buku Julius Stone  yang saya baca, beliau menceritakan tentang posisi mesin dalam cara berhukum manusia. Dengan arti mesin memiliki pola berpikir dan bekerja yang tidak sama persis sama dengan manusia , salah satu macamnya mesin yang mampu bekerja cepat dan melakukan penyelesaian dalam jumlah banyak . Tetapi nyatanya di dalam berhukum pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan cara – cara seperti itu. Kalau kita mengimplementasikan cara berhukum seperti mesin maka kita membahas “Keadilan mesin” bukan “keadilan manusia”.

Dalam pendapat Stone  mengakhiri risalahnya dengan kata – kata “ serahkan urusan  manusia  kepada manusia dan kepada mesin  urusan mesin”. Memang dalam diri kita tidak lepas dengan cara beraktifitas seperti yang dilakukan oleh mesin. Uraian dari Danah Zohar dan Ian Marshall, CARA BERPIKIR MANUSIA YANG PALING SEDERHANA MEMANG MIRIP DENGAN MESIN, yang biasa disimbolkan dengan I Q (intellectual quotient) yaitu suatu ukuran pikiran kita. Semua  ingin diukur dengan standar IQ. IQ merupakan simplistic model of thinking, yaitu berpikir secara lurus , logis tanpa melibatkan emosi , lalu Muncul EQ (emotional quotient), yaitu berpikir dengan hati dan badan (asosiatif), dan kemudian SQ (spiritual quotient), yang dinobatkan yang paling sempurna . SQ disebut unitive thinking yang melahirkan kecerdasan spiritual, kecerdasan yang bermakana, dan tranformative . Atau dengan kata lain SQ adalah berfikir kreatif , penuh wawasan (insightful) dan intuitif . Inilah cara berhukum yang dijumpai di negeri kita, “peraturan dan logika (iQ)”, Cara berhukum adalah manakala kita berani untuk lepas dari belenggu perundang – undangan dan menemukan hal – hal baru yang progresif . Cara berhukum  yang legalistik, positif  - analitis disebut rule making, Cara berhukum yang pemikiran kreatif dan intuitif disebut rule breaking. Cara berpikir atau berhukum juga didasarkan pada skema – skema yang sudah dipatok  secara pasti sebelumnya.

Cara berhukum lalu mengikuti standar dan formula yang telah disiapkan . Kemudian fakta, proses, sengketa dimasuk – masukkan kedalam skema – skema tersebut, seperti sistem produksi yang menggunakan prinsip ban berjalan , begitulah berhukum di Indonesia saat ini, sesuai dengan apa yang di tuliskan (hokum positif) bukan dengan menggali nilai – nilai yang ada di lingkungan masyarakat kita. Faktor dan peran manusia dalam hukum sama sekali tidak dapat diabaikan. Dalam Kasus Lindenbaum-Cohen, lahirnya kemerdekaan indonesia, turunnya presiden Soeharto. Yaitu  contoh urusan hukum yang diserahkan kepada manusia dan bukan di serahkan kepada mesin. Biarlah mesin mengurusi pekerjaannya sendiri (Stone). Turunnya presiden Soeharto dikarenakan adamnya aksi demo oleh para mahasiswa barulah para MPR mengolah aturan untuk turunnya Soeharto. Hukum tidak  bisa hanya menghitung dan mengeja pasal – pasal undang – undang, melainkan juga dengan modal empati dan keberanian dan itu belum tentu di lakukan oleh mesin . contoh panglima hukum yang berjalan dengan hukum progresif adalah Hakim Agung terkenal di U.S.A Oliver Wendell Holmes, Ketua Mahkamah Agung U.S.A  (1801 – 1838) John Marshall yang saat itu di negaranya, konstitusi dianggap tidak penting dan hanya sesuatu yang dikesampingkan dalam hukum di U.S.A.

 Tidak hanya di negeri seberang, di Negara kita diantara nya Hakim Agung Bismar Siregar  yang memperjuangkan hak para kaum hawa dalam kejahatan si lelaki untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan wanita. dan Hakim Agung Kusumah Atmadja di Indonesia, dll . jadi dalam berhukum tidak lah harus sesuai dengan ketentuan yang ada (tertulis), tetapi juga melihat dan menimbang dengan hati nurani, menelaah lebih lanjut hukum yang tertanam di masyarakat (adat/nilai) dan juga hukum merupakan telah memberi warna terhadap hukum dengan menegaskan bahwa hukum itu bukan hanya urusan peraturan dan logika, tetapi juga manusia yang menjalankan hukum itu dengan sekalian karakteristiknya. My Argument :) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar