Jumat, 09 Mei 2014

PIDANA MATI BAGI KORUPTOR


                  
Pidana korupsi sebagai hukum pidana khusus artinya aturan – aturan hukum pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum. Hukum pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu itu[1]. Korupsi Sudah terlalu lama kasus korupsi ini menjadi polemik utama bagi negara Indonesia, sampai saat ini belum nampak adanya keberhasilan para pemberantas korupsi yakni KPK dan aparat penegak hukum lainnya yang dapat mengurangi angka pertumbuhan koruptor ini. Malahan, koruptor sudah makin banyak bak pasir di pantai. Indonesia sepertinya memberikan keluwesan dan memberikan arahan cara menjadi koruptor yang handal untuk melakukan korupsi karena aparat penegak hukum terlalu bertele – tele dalam menyikapi masalah ini. Dari dulu, hakim dalam memberikan vonis kepada monster negara ini sangat ringan dan vonis tersebut hanya sebagai gelitikan saja bagi mereka.

Faktanya, para koruptor di masukkan kedalam penjara akan tetapi hotel prodeo mereka seperti rumah pribadi, memiliki beragam fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan mereka;para koruptor di tahan di sel, tetapi dapat hang out ke tempat yang sepertinya bukan penjara melainkan tempat wisata; para koruptor di pidana tetapi di berikan remisi, grasi dan amnesti; para koruptor di denda dan membayar uang pengganti tetapi jumlahnya tidak sesuai dengan yang di ambil nya serta tidak membuat mereka menjadi semiskin - miskinnya melainkan koruptor ibarat memberikan sepersen harga dari harta miliknya. Dengan hal tersebut diatas tidak mungkin koruptor di Indonesia dapat berkurang populasinya.

Apalagi sekarang telah dibuat nya Rancangan UndangUndang (RUU) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pastinya akan melemahkan proses pemberantasan korupsi di Indonesia dimana delik korupsi dimasukkan kedalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana bukan lagi menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).[2]Bukan hanya itu dalam Rancangan Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang masuk program legislasi DPR 2011 menambah penerangan bagi para koruptor karena dalam sejumlah pasal tersebut telah dikurangi lamanya sanksi hukuman, menghapushukuman minimal, bahkanmenghilangkanancamanhukuman mati.[3]

Dapat disimpulkan bahwa nantinya ancaman sanksi lebih ringan dari Undang – Undang ini tidak dapat lagi menjadi payung penyelesaian kasus korupsi di Indonesia. Memang, siapapun tidak akan mau membuat kuburannya sendiri. Telah banyak cara – cara yang diperuntukkan dalam memberantas koruptor ini tetapi belum mencapai hasil. Seharusnya efektivitas Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi direlisasikan dan di dukung oleh aparatur nya.Faktor lainnya karena para aparat penegak hukum terlebih hakim dalam memutuskan atau memberikan vonis kurang berani dalam menerapkan hukum yang telah diatur yakni Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang – Undang tersebut terdapat penguraian hukuman yang dapat di jatuhkan yakni hukuman mati padapelakukorupsidalamkeadaantertentu.[4]

Dalam Undang – Undang tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuannya adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana – dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Mengeksekusi mati koruptor sangat memberikan efek jera bagi koruptor lainnya, contohkan saja negara China dan Latvia yang karena kebijakan nya ini membuat koruptor di negara mereka drastis berkurang dan banyak menyelamatkan uang negara. Menghukum mati koruptor itu sama halnya dengan menyelamatkan anak bangsa dalam kemiskinan, kelaparan, dan hilangnya kemajuan penunjang pendidikan mereka.

Kasus Mantan Ketua SKK MIGAS Rudi Ribandini memiliki gaji pokok  Rp.230 juta per bulan ditambah Rp.80 juta sebulan dari jabatannya disebuah bank. Yang ingin saya jelaskan disini bukan karena masalah perekonomian atau dengan hal lain mereka melakukan korupsi tetapi karena mereka rakus, dan tidak memiliki rasa empati kepada sesama. Tetapi banyak juga yang memberikan alasan tidak mendukung  memberlakukan hukuman mati untuk koruptor yang dimana mereka mengatakan bahwa terlanggarnya HAM koruptor itu sendiri dan melanggar konstitusi negara Indonesia yang termaktub pasal 28 (I) ayat 1 UUD 1945 yakni hak untuk hidup oleh seluruh warga negara.

Sungguh ironi koruptor mempunyai senjata penangkis untuk penyelamatan dirinya dengan memanfaatkan aturan – aturan tertulis (a priori). Seharusnya, UUD 1945 dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pada pasal 4 yang dibuat  untuk melindungi HAM setiap orang tetapi justru menjadi alatlegitimasi untuk melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Dihadapkan dengan persolan letak humanisme seseorang, kata manusiawi ada ketika sifat humanisme seseorang itu dipakai. Nah, saya akan mencoba membuka pemikiran kita disini, lebih manusiawi membumihanguskan para koruptor demi untuk menyelamatkan ratusan juta rakyat bangsa ini yang direnggut hak nya dari koruptor baik itu dalam mengecap pendidikan, sarana dan prasaran di bidang kesehatan, dan atas kelangsungan hidupnya.

Disini, koruptor demi keinginan keserakahannya sendiri menyampingi kepentingan – kepentingan rakyat yang artinya telah melanggar hak – hak warga negara lain yang cakupannya lebih banyak dari koruptor itu sendiri. Pembatasan kebebasan manusia diperuntukkan semata – mata untuk melindungi hak – hak manusia itu sendiri untuk mencegah terjadinya penggunaan hak – hak yang dapat melanggar hak orang lain. Intinya bukan hanya hak (right) yang dituntut tetapi juga melaksanakan kewajiban (duty) untuk menghargai hak orang lain.

Jadi, di Indonesia perlu dijalankan hukuman mati untuk para koruptor sehingga tidak memberikan ruang lagi untuk mereka bisa hidup dalam penderitaan orang lain. Dan itu akan menjadi efektif apabila bukti dan berkas – berkas yang kuat menyatakan melakukan tidak korupsi positif dilakukan. Sehingga para eksekutor tidak salah orang ketika menghukum mati dan memiliki mentalitas serta moralitas dalam bertindak
Tindakan korupsi merupakan kejahatan dimana seharusnya pelakunya dikenai pemidanaan untuk menghukum perbuatannya sekaligus menimbulkan efekjera. Pemberiansanksi yang hanya berupa pengembalian asset tanpa disertai dengan pemidanaan pada pelakunya tentu akan membuka celah baru dalam korupsi. Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi yang  muncul kembali karena meski  sudah banyak pejabat dihukum terkait kasus korupsi,  sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera untuk korupsi. Korupsi, khususnya suap, bahkan kini dinilai sebagai budaya. Jika sekarang masih terjadi, itu dikarenakan kurang keras nya hukuman yang di berikan untuk para koruptor. Kiranya Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi direalisasikan agar memberikan impact bagi koruptor di Indonesia khususnya hukuman mati. Sehingga memberikan efek jera yang riil dan ketakutan bagi koruptor lainnya. Dan untuk para aparatur penegak hukum diharapkan dapat terus mengingatkan dan menekan pemerintah untuk secara serius melakukan upaya pemberantasan korupsi.[5]




[1]Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia,  UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 1.
[2]Termuat dalam Rancangan Undang – Undang (RUU) Kitab Undang – Undang Pidana (KUHP) dalam proses legislasi DPR tahun 2014
[3]Termuat dalam Rancangan Undang – Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam proses legislasi DPR tahun 2011
[4]Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (2)
[5]H. Juni Sjafrien Jahja, Say No To KORUPSI, hlm. 121.