Jumat, 09 Mei 2014

PIDANA MATI BAGI KORUPTOR


                  
Pidana korupsi sebagai hukum pidana khusus artinya aturan – aturan hukum pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum. Hukum pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu itu[1]. Korupsi Sudah terlalu lama kasus korupsi ini menjadi polemik utama bagi negara Indonesia, sampai saat ini belum nampak adanya keberhasilan para pemberantas korupsi yakni KPK dan aparat penegak hukum lainnya yang dapat mengurangi angka pertumbuhan koruptor ini. Malahan, koruptor sudah makin banyak bak pasir di pantai. Indonesia sepertinya memberikan keluwesan dan memberikan arahan cara menjadi koruptor yang handal untuk melakukan korupsi karena aparat penegak hukum terlalu bertele – tele dalam menyikapi masalah ini. Dari dulu, hakim dalam memberikan vonis kepada monster negara ini sangat ringan dan vonis tersebut hanya sebagai gelitikan saja bagi mereka.

Faktanya, para koruptor di masukkan kedalam penjara akan tetapi hotel prodeo mereka seperti rumah pribadi, memiliki beragam fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan mereka;para koruptor di tahan di sel, tetapi dapat hang out ke tempat yang sepertinya bukan penjara melainkan tempat wisata; para koruptor di pidana tetapi di berikan remisi, grasi dan amnesti; para koruptor di denda dan membayar uang pengganti tetapi jumlahnya tidak sesuai dengan yang di ambil nya serta tidak membuat mereka menjadi semiskin - miskinnya melainkan koruptor ibarat memberikan sepersen harga dari harta miliknya. Dengan hal tersebut diatas tidak mungkin koruptor di Indonesia dapat berkurang populasinya.

Apalagi sekarang telah dibuat nya Rancangan UndangUndang (RUU) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pastinya akan melemahkan proses pemberantasan korupsi di Indonesia dimana delik korupsi dimasukkan kedalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana bukan lagi menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).[2]Bukan hanya itu dalam Rancangan Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang masuk program legislasi DPR 2011 menambah penerangan bagi para koruptor karena dalam sejumlah pasal tersebut telah dikurangi lamanya sanksi hukuman, menghapushukuman minimal, bahkanmenghilangkanancamanhukuman mati.[3]

Dapat disimpulkan bahwa nantinya ancaman sanksi lebih ringan dari Undang – Undang ini tidak dapat lagi menjadi payung penyelesaian kasus korupsi di Indonesia. Memang, siapapun tidak akan mau membuat kuburannya sendiri. Telah banyak cara – cara yang diperuntukkan dalam memberantas koruptor ini tetapi belum mencapai hasil. Seharusnya efektivitas Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi direlisasikan dan di dukung oleh aparatur nya.Faktor lainnya karena para aparat penegak hukum terlebih hakim dalam memutuskan atau memberikan vonis kurang berani dalam menerapkan hukum yang telah diatur yakni Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang – Undang tersebut terdapat penguraian hukuman yang dapat di jatuhkan yakni hukuman mati padapelakukorupsidalamkeadaantertentu.[4]

Dalam Undang – Undang tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuannya adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana – dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Mengeksekusi mati koruptor sangat memberikan efek jera bagi koruptor lainnya, contohkan saja negara China dan Latvia yang karena kebijakan nya ini membuat koruptor di negara mereka drastis berkurang dan banyak menyelamatkan uang negara. Menghukum mati koruptor itu sama halnya dengan menyelamatkan anak bangsa dalam kemiskinan, kelaparan, dan hilangnya kemajuan penunjang pendidikan mereka.

Kasus Mantan Ketua SKK MIGAS Rudi Ribandini memiliki gaji pokok  Rp.230 juta per bulan ditambah Rp.80 juta sebulan dari jabatannya disebuah bank. Yang ingin saya jelaskan disini bukan karena masalah perekonomian atau dengan hal lain mereka melakukan korupsi tetapi karena mereka rakus, dan tidak memiliki rasa empati kepada sesama. Tetapi banyak juga yang memberikan alasan tidak mendukung  memberlakukan hukuman mati untuk koruptor yang dimana mereka mengatakan bahwa terlanggarnya HAM koruptor itu sendiri dan melanggar konstitusi negara Indonesia yang termaktub pasal 28 (I) ayat 1 UUD 1945 yakni hak untuk hidup oleh seluruh warga negara.

Sungguh ironi koruptor mempunyai senjata penangkis untuk penyelamatan dirinya dengan memanfaatkan aturan – aturan tertulis (a priori). Seharusnya, UUD 1945 dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pada pasal 4 yang dibuat  untuk melindungi HAM setiap orang tetapi justru menjadi alatlegitimasi untuk melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Dihadapkan dengan persolan letak humanisme seseorang, kata manusiawi ada ketika sifat humanisme seseorang itu dipakai. Nah, saya akan mencoba membuka pemikiran kita disini, lebih manusiawi membumihanguskan para koruptor demi untuk menyelamatkan ratusan juta rakyat bangsa ini yang direnggut hak nya dari koruptor baik itu dalam mengecap pendidikan, sarana dan prasaran di bidang kesehatan, dan atas kelangsungan hidupnya.

Disini, koruptor demi keinginan keserakahannya sendiri menyampingi kepentingan – kepentingan rakyat yang artinya telah melanggar hak – hak warga negara lain yang cakupannya lebih banyak dari koruptor itu sendiri. Pembatasan kebebasan manusia diperuntukkan semata – mata untuk melindungi hak – hak manusia itu sendiri untuk mencegah terjadinya penggunaan hak – hak yang dapat melanggar hak orang lain. Intinya bukan hanya hak (right) yang dituntut tetapi juga melaksanakan kewajiban (duty) untuk menghargai hak orang lain.

Jadi, di Indonesia perlu dijalankan hukuman mati untuk para koruptor sehingga tidak memberikan ruang lagi untuk mereka bisa hidup dalam penderitaan orang lain. Dan itu akan menjadi efektif apabila bukti dan berkas – berkas yang kuat menyatakan melakukan tidak korupsi positif dilakukan. Sehingga para eksekutor tidak salah orang ketika menghukum mati dan memiliki mentalitas serta moralitas dalam bertindak
Tindakan korupsi merupakan kejahatan dimana seharusnya pelakunya dikenai pemidanaan untuk menghukum perbuatannya sekaligus menimbulkan efekjera. Pemberiansanksi yang hanya berupa pengembalian asset tanpa disertai dengan pemidanaan pada pelakunya tentu akan membuka celah baru dalam korupsi. Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi yang  muncul kembali karena meski  sudah banyak pejabat dihukum terkait kasus korupsi,  sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera untuk korupsi. Korupsi, khususnya suap, bahkan kini dinilai sebagai budaya. Jika sekarang masih terjadi, itu dikarenakan kurang keras nya hukuman yang di berikan untuk para koruptor. Kiranya Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi direalisasikan agar memberikan impact bagi koruptor di Indonesia khususnya hukuman mati. Sehingga memberikan efek jera yang riil dan ketakutan bagi koruptor lainnya. Dan untuk para aparatur penegak hukum diharapkan dapat terus mengingatkan dan menekan pemerintah untuk secara serius melakukan upaya pemberantasan korupsi.[5]




[1]Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia,  UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 1.
[2]Termuat dalam Rancangan Undang – Undang (RUU) Kitab Undang – Undang Pidana (KUHP) dalam proses legislasi DPR tahun 2014
[3]Termuat dalam Rancangan Undang – Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dalam proses legislasi DPR tahun 2011
[4]Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (2)
[5]H. Juni Sjafrien Jahja, Say No To KORUPSI, hlm. 121.

Kamis, 21 Februari 2013

Cara Berhukum Di Indonesia


Dalam buku Julius Stone  yang saya baca, beliau menceritakan tentang posisi mesin dalam cara berhukum manusia. Dengan arti mesin memiliki pola berpikir dan bekerja yang tidak sama persis sama dengan manusia , salah satu macamnya mesin yang mampu bekerja cepat dan melakukan penyelesaian dalam jumlah banyak . Tetapi nyatanya di dalam berhukum pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan cara – cara seperti itu. Kalau kita mengimplementasikan cara berhukum seperti mesin maka kita membahas “Keadilan mesin” bukan “keadilan manusia”.

Dalam pendapat Stone  mengakhiri risalahnya dengan kata – kata “ serahkan urusan  manusia  kepada manusia dan kepada mesin  urusan mesin”. Memang dalam diri kita tidak lepas dengan cara beraktifitas seperti yang dilakukan oleh mesin. Uraian dari Danah Zohar dan Ian Marshall, CARA BERPIKIR MANUSIA YANG PALING SEDERHANA MEMANG MIRIP DENGAN MESIN, yang biasa disimbolkan dengan I Q (intellectual quotient) yaitu suatu ukuran pikiran kita. Semua  ingin diukur dengan standar IQ. IQ merupakan simplistic model of thinking, yaitu berpikir secara lurus , logis tanpa melibatkan emosi , lalu Muncul EQ (emotional quotient), yaitu berpikir dengan hati dan badan (asosiatif), dan kemudian SQ (spiritual quotient), yang dinobatkan yang paling sempurna . SQ disebut unitive thinking yang melahirkan kecerdasan spiritual, kecerdasan yang bermakana, dan tranformative . Atau dengan kata lain SQ adalah berfikir kreatif , penuh wawasan (insightful) dan intuitif . Inilah cara berhukum yang dijumpai di negeri kita, “peraturan dan logika (iQ)”, Cara berhukum adalah manakala kita berani untuk lepas dari belenggu perundang – undangan dan menemukan hal – hal baru yang progresif . Cara berhukum  yang legalistik, positif  - analitis disebut rule making, Cara berhukum yang pemikiran kreatif dan intuitif disebut rule breaking. Cara berpikir atau berhukum juga didasarkan pada skema – skema yang sudah dipatok  secara pasti sebelumnya.

Cara berhukum lalu mengikuti standar dan formula yang telah disiapkan . Kemudian fakta, proses, sengketa dimasuk – masukkan kedalam skema – skema tersebut, seperti sistem produksi yang menggunakan prinsip ban berjalan , begitulah berhukum di Indonesia saat ini, sesuai dengan apa yang di tuliskan (hokum positif) bukan dengan menggali nilai – nilai yang ada di lingkungan masyarakat kita. Faktor dan peran manusia dalam hukum sama sekali tidak dapat diabaikan. Dalam Kasus Lindenbaum-Cohen, lahirnya kemerdekaan indonesia, turunnya presiden Soeharto. Yaitu  contoh urusan hukum yang diserahkan kepada manusia dan bukan di serahkan kepada mesin. Biarlah mesin mengurusi pekerjaannya sendiri (Stone). Turunnya presiden Soeharto dikarenakan adamnya aksi demo oleh para mahasiswa barulah para MPR mengolah aturan untuk turunnya Soeharto. Hukum tidak  bisa hanya menghitung dan mengeja pasal – pasal undang – undang, melainkan juga dengan modal empati dan keberanian dan itu belum tentu di lakukan oleh mesin . contoh panglima hukum yang berjalan dengan hukum progresif adalah Hakim Agung terkenal di U.S.A Oliver Wendell Holmes, Ketua Mahkamah Agung U.S.A  (1801 – 1838) John Marshall yang saat itu di negaranya, konstitusi dianggap tidak penting dan hanya sesuatu yang dikesampingkan dalam hukum di U.S.A.

 Tidak hanya di negeri seberang, di Negara kita diantara nya Hakim Agung Bismar Siregar  yang memperjuangkan hak para kaum hawa dalam kejahatan si lelaki untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan wanita. dan Hakim Agung Kusumah Atmadja di Indonesia, dll . jadi dalam berhukum tidak lah harus sesuai dengan ketentuan yang ada (tertulis), tetapi juga melihat dan menimbang dengan hati nurani, menelaah lebih lanjut hukum yang tertanam di masyarakat (adat/nilai) dan juga hukum merupakan telah memberi warna terhadap hukum dengan menegaskan bahwa hukum itu bukan hanya urusan peraturan dan logika, tetapi juga manusia yang menjalankan hukum itu dengan sekalian karakteristiknya. My Argument :) 



Rabu, 20 Februari 2013

Indonesia Adalah Negara Hukum

Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair play) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya.


Jhon Locke dalam karyanya “Second Tratise of Government”, telah mengisyaratkan tiga unsur minimal bagi suatu Negara hukum, sebagai berikut :


1. Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai;

2. Adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pemerintahan;

3. Adanya badan yang tersedia diadakan untuk penyelesaian sengketa yang timbul di antara sesama anggota masyarakat.


Dalam Negara hukum menurut Jhon Lockce, warga masyarakat/rakyat tidak lagi diperintah oleh seorang raja atau apapun namanya, akan tetapi diperintah berdasarkan hukum.Ide ini merupakan suatu isyarat bahwa bagi Negara hukum mutlak adanya penghormatan terhadap supremasi hukum.


Bagaimana dengan negeri ini? Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara hukum Pancasila (rechsstaat/rule of law). Hal ini dengan tegas dirumuskan pada Pasal 1 ayat (3)UUD NRI Tahun 1945, bahwa : Negara Indonesia adalah Negara hukum.


Namun bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide Negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral(Jimly Asshiddiqie, 2009:3).


Penghormatan terhadap supremasi hukum tidak hanya dimaksudkan dengan galaknya pembangunan dan pembentukan hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, akan tetapi bagaimana hukum yang dibentuk itu benar-benar dapat diberlakukan dan dilaksanakan, sehingga hukum berfungsi sebagai sarana (tool) penggerak aktifitas kehidupan bernegara, pemerintahan dan kemasyarakatan.


Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai sarana penggerak, maka hukum harus dapat ditegakkan dan untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian dari system nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi warga masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benar-benar nyata pada rana empiris tanpa paksaan.


Supremasi hukum hanya akan berarti bila ada penegakan hukum,dan penegakan hukum hanya akan mempunyai nilai evaluatif jika disertai dengan pemberlakuan hukum yang responsif.Artinya superioritas hukum akan terjelma dengan suatu penegakan hukum yang bersendikan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dengan dilandasi nilai dan rasa keadilan.


Terminologi dan Deskripsi tentang Supremasi Hukum 


Istilah supremasi hukum, adalah merupakan rangkaian dari selingkuhan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata supremacy dan kata law, menjadi “supremacy of law” atau biasa juga disebut “law’s supremacy”.


Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan bahwa secara etimologis,kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan tertinggi.


Kata hukum diterjemahkan dari bahasa Inggeris dari kata “law”, dari bahasa Belanda “recht” bahasa Perancis “droit” yang diartikan sebagai aturan, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang wajib ditaati.


Soetandyo Wignjosoebroto (2002:457), menyatakan bahwa secara terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara.


Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal dalam rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat,oleh Charles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk memposisikan hukum agar berfungsi sebagai komando atau panglima(2003:1).


Abdul Manan (2009:188), menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis supremasi hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.


Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa supremasi hukum adalah pengakuan dan penghormatan tentang superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game)dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur(fair play).


Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan dengan idée tentang teori kedaulatan hukum (rechtssovereiniteit). Hukum adalah kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara, karenanya yang memerintah sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks demikian hukum sebagai komando dan panglima.


B. Deskripsi Penegakan Hukum


Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum (law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku criminal.


Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggungjawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum.


Memang bagi orang awam, penegakan hukum semata dilihatnya sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar dari aparat hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum,misalnya tindakan informative terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan terjadinya peristiwa hukum.


Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau prilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat. Namun demikian, dalam upaya menjaga dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan sosial maka pemerintalah actor security.


Pada perspektif akademik,Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (1977).


Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13).


Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuanuntuk mencapai kedamaian dan keadilan (2003:66).


Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali, yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati.


Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada keterlibatan nyata oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan prilaku nyata yang konkrit.Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi.


Karena itu tidak ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan pemahaman hukum bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah pilihan keputusan, sehingga takkala salah memilih keputusan dalam sikap dan prilaku konkrit, maka berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di rana empiris.


C. Supremasi Hukum dan Penegakan Hukum


Supremasi hukum dan penegakan hukum sudah menjadi masalah sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat.Masalah itu muncul oleh karena adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sen, dimana Negara mengklaim sebagai Negara hukum demokrasi (rechtsstaat democratie), sementara hukumnya compang camping dan penegakannya serampangan. Artinya supremasi hukum tidak dihormati dan penegakan hukum berjalan setengah hati dengan ibarat berada di persimpangan jalan panjang.


Banyak contoh kasus di negeri ini yang menarik dijadikan sampel berkenaan dengan supremasi hukum dan penegakan hukum, antara lain bagaimana ketiadaan penghormatan supremasi hukum terhadap skandal Senturi. Bagaimana skandal mafia pajak yang salah satu aktornya “Gayus” dengan menampilkan pentas sandiwara hukum, yang oleh publik ditontonnya sebagai proses penegakan hukum yang setengah hati. Belum lagi menguaknya kasus Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) yang diduga keras penuh rekayasa.


Supremasi hukum dan penegakan hukum dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya harus bersinergi untuk mewujudkan cita hukum, fungsi hukum dan tujuan hukum, yang sebesar-besarnya buat kemanfaatan, kebahagiaan dan kesejahtraan umat manusia yang bersendikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.


Abdul Manan (2009:189), menyatakan bahwa supremasi hukum merupakan doktrin sentral yang menjadi reason of existence hukum Eropa Barat. Secara embrio doktrin supremasi hukum sudah mulai berkembang sejak abad VII M.


Lebih lanjut dikatakan bahwa term dan doktrin supremasi hukum telah dikenal sejak abad XI M, bahkan jauh sebelum itu pada abad VI M, Islam telah membawa misi reformasi besar untuk menegakkan supremasi hukum yang mengacu kepada upaya penciptaan kedamaian dan kesejahtraan yang mengantarkan manusia secara individu dan masyarakat sukses dan bahagia menjalani kehidupan dan selamat bahagia hidup di akhirat kelak (Abdul Manan,2009:190).